h1

tentang memberi (trilogi Cinta #1)

Oktober 15, 2008

Kamu tidak bisa memberi apa yang tidak kamu miliki…

Walau kadang ada beberapa perkecualian — yang lebih banyak berkaitan dgn masalah definisi dan konteks –, tetapi saya masih meyakini bahwa premis di atas berkaitan dgn aspek yg sangat luas dalam hidup ini. Tidak hanya tentang materi, tetapi juga tentang ilmu, kebijaksanaan, disiplin, dan kasih sayang.

Kamu tidak bisa memberikan kepada saya satu barang, ambil contoh : pakaian, atau uang di dompet, kecuali jika barang itu milikmu, atau kamu memiliki kuasa/tanggungjawab atasnya. Yup, begitu juga dengan hal-hal immateri lainnya. Kamu ngga bisa mengajarkan, sebut saja, geografi, jika kamu sendiri ngga punya ilmu tentang itu. Masih logis? Coba kita perluas lagi..

Kamu ngga bisa mengajarkan kepada murid kamu, misalnya, kedisiplinan, atau tanggungjawab, atau konsistensi, jika kamu sendiri ngga punya disiplin, atau rasa tanggungjawab, atau konsistensi dalam hidup. You can give them the theory, of course, but nothing more..

Ironis loh, betapa banyak guru atau orangtua yang berusaha setengah mati mengajarkan anaknya kedisiplinan, tapi dirinya sendiri masih jauh dari itu..
Sejauh ini, masih cukup logis?

Sekarang coba lihat yang satu ini..
Bagaimana bisa kita memberikan kasih sayang kepada (baca : menyayangi) orang lain, jika kita tidak memiliki kasih sayang itu..

Oke,oke, sekarang mulai rancu nih..

Soalnya, mungkin kamu bakal nanya, bagaimana bisa orang ngga punya kasih sayang ? Bukankah kasih sayang adalah naluri yang pasti dimiliki oleh manusia — atau juga setiap makhluk hidup tingkat tinggi lainnya ?

Tapi coba perhatikan berapa banyak orang yang seolah ngga pernah berhenti mencari kasih sayang dan perhatian dari orang lain, as if dirinya ngga pernah merasa cukup akan itu..and then, in contrast, berapa banyak pula orang yang memiliki self-esteem yang tinggi, sehingga underestimasi semua orang atas dirinya ngga pernah bisa menggoyahkan dirinya untuk mencintai dan menghargai dirinya sendiri. Masih ngikutin ?

Untuk itu, biar Herr Fromm dan Mr. Peck bicara di trilogi Cinta yang kedua (halah…)

h1

benci

September 7, 2008

Saya selalu mengingatkan diri saya sendiri, jangan pernah mengajarkan kepada anak — atau kepada siapapun juga – kebencian. Ia hanya akan menimbulkan kebencian yang lebih besar–kebencian yg mengakar, meminjam istilah Fromm,– dan memakani jiwamu sedikit demi sedikit. Bukan berarti kita tidak boleh membenci. Justru, kebencian adalah hal yang alami. Tetapi kebencian seperti apa?
Benci adalah fenomena yang unik. Di satu pihak, ia menjadi sisi lain dari cinta. Tidak ada cinta tanpa benci. Kita tidak bisa mencintai, katakanlah, kebersihan, tanpa membenci kekotoran. Kita membenci, dan rela berbuat apapun untuk menghilangkan setiap hal yang mengganggu eksistensi dari apa yang kita cintai. Benci dan cinta, dalam hal ini, merupakan dua sisi dari mata uang.

Tapi ada satu bentuk kebencian yang lain;benci yang tidak bersumber dari cinta. Orang-orang Jerman yang membenci umat yahudi dulu, belum tentu memiliki kecintaan pada rasnya. Kebencian itu bukan sisi lain dari cinta, tapi justru ketiadaan akan cinta.

Jika kita mengajarkan pada diri kita kebencian, maka yang muncul hanyalah kebencian itu. Tapi jika kita mengajarkan pada diri kita cinta dan kasih sayang yang tulus, maka yang muncul dalam diri kita adalah cinta, dan kekuatan untuk membenci dan melawan apapun yang menghilangkan eksistensi sesuatu yang kita cintai. Benci itu akan menjadi…manusiawi.

h1

merdeka!

Agustus 22, 2008

Seperti yang pernah saya tulis di tulisan saya yg lalu (Selamat hari Kamis), selalu ada satu hari untuk apapun. Karenanya, hari itu — 17 Agustus –, saya tetapkan bagi diri saya sebagai hari kemerdekaan…
hari dimana saya merenung dan merefleksikan apakah kemerdekaan untuk saya.

Saya sempat bingung, Apakah ada hal yang disebut merdeka ?
Bukankah seringkali kita — meski merasa merdeka — tetap dijajah oleh orang lain, oleh keadaan, oleh tuntutan-tuntutan ?
Berapa sering saya mendengar mereka yang bilang kalau Indonesia sebenarnya belum merdeka — masih dijajah dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya oleh bangsa lain…
Lalu apa itu merdeka ?

Teman saya pernah bilang,
di tengah segala tekanan, dan tuntutan yang -sepertinya- mengekang kita dari kebebasan,
atau di antara orang-orang yang menindas dan ‘seolah’ mengatur kehidupan kita….
semua itu menjadi kembali pada cara pandang kita terhadap hidup.
Ketimbang memberontak dari tekanan atasan, misalnya — dengan dalih menuntut kemerdekaan –, kita bisa mengubah sudut pandang kita and make us coup with them in a positive way.
..itu kata teman saya.

Tapi kalau begitu masalahnya,kenapa para pejuang dulu ngga ngerubah saja sudut pandang mereka dari ‘terjajah’ menjadi ‘merdeka’ tanpa harus mati-matian membela kemerdekaannya – dan kemerdekaan bangsa ini…
toh, itu semua hanya tentang mindset saja khan, kita dijajah atau ngga ?

Saya dulu bodoh untuk berpikir begitu..
dan saya tidak menghargai semua perjuangan dan tetes darah yang ada…
karena sekarang, akhirnya saya bisa mengerti apa yang sebenernya diperjuangkan itu.

Kemerdekaan (bagi saya) adalah ketika kita bisa memilih….
Bukan ketika kita bebas menentukan nasib kita, karena terkadang kita tidak bisa menentukan kemana arus hidup ini membawa kita..
bukan ketika kita menjalankan yang kita mau, karena kadang tidak semua yang kita inginkan datang di depan mata kita..
…tapi ketika kita bisa memilih, dan mengetahui apa yang ada di balik pilihan itu. Tidak ada istilah ‘memilih secara terpaksa’, karena ketika kita dipaksa, tidak ada pilihan.

Kemerdekaan (bagi saya) adalah ketika apa yang mengikat dan mengekang kita bukan lagi perintah atasan,
bukan nilai sosial,
bukan tuntutan ekonomi ..
tetapi hanya konsekuensi — tanggungjawab yang melekat pada setiap pilihan
..itu saja.

Apa yang mereka perjuangkan dulu — para pahlawan yang meneteskan darah dan keringatnya—
bagi saya, bukan soal ketertindasan,
bukan soal terbebasnya bangsa dari penderitaan..
tapi tentang kemerdekaan untuk memilih dan bertanggungjawab sepenuhnya atas pilihan kita.
Karena penderitaan pasti akan selalu datang,
tapi hendaknya ia datang karena kita memilih untuk itu,
bukan karena yang lain.

Kemerdekaan adalah tentang individu manusia..
bukan tentang jantung, atau ginjal, atau organ lainnya yang tidak akan dapat bertahan hidup sendiri…
..tapi tentang manusia secara keseluruhan,
yang tidak pernah merdeka dari ikatan halus kehidupan — ketergantungan akan sumberdaya, sesama, dan alam –,
tapi merdeka untuk memilih apa yang ia harus jalani untuk memenuhi ketergantungannya itu.

Indonesia, dan manusia yang ada di dalamnya, telah merdeka.
Mereka telah merebut apa yang seharusnya menjadi hak mereka sejak dulu : memilih jalan hidup mereka sendiri.
Meski sistem yang ada sekarang menjadikan mereka harus menderita — segala sistem perekonomian, permainan politik, dan desakan budaya –,
tapi mereka memilih untuk menerima konsekuensi dari pilihannya itu.
Mereka memilih untuk bergelut dengan segala ketidak adilan,
mereka memilih untuk ditipu oleh para kapitalis,
mereka memilih untuk diperas segala sumberdayanya
… mereka mungkin bodoh, tapi mereka bisa saja memilih untuk menolak itu semua –dan segala konsekuensinya–,
dan itu menunjukkan bahwa mereka merdeka.

Jika kita hanya mengeluh dalam hidup atas keadaan kita,
atau menyalahkan kapitalis-kapitalis brengsek yang mencekik rakyat jelata,
atau merasa bahwa kita tidak semestinya menderita…
maka entah kita tidak bertanggungjawab atas pilihan kita, atau kita tidak tahu apa yang kita pilih,
..dan itu artinya kita belum merdeka.

Karena merdeka,
bagi saya, adalah apa yang mendorong jiwa ini untuk tidak berhenti berjuang,
dan selalu bersyukur atas kehidupan.

h1

menatap masa lalu

Juli 12, 2008

(fotonya saya ambil dari sini . Trims!)

Tiap jalan keluar (dari) kota – ke pantai, atau gunung, atau manapun yg udaranya masih cukup segar dan langitnya masih belum ditutupin kabut-asap-polusi, saya paling seneng ngeliatin tebaran bintang di langit malam. Langit bener2 gemerlap, tapi kerasanya begitu damai. Kalau saya terus ngamatin langit selama 15 menit aja, sesekali saya bakal ngeliat “shooting star”, — apa sih bhs indonesianya, ‘bintang jatuh’ atau ‘bintang menembak’ ya? hehehe…Di perjalanan terakhir saya ke gorontalo, saya jg dapet pemandangan itu. Cuman mengingat saya ngga bawa kamera dan susah jg dapet pemandangan bintang di langit pake kamera saku biasa, ya terpaksa saya minjem foto orang lain..

Anyway, sambil ngeliatin bintang, saya nyadar bahwa yg saya liat saat itu adalah pemandangan masa-lalu, tahunan, ribuan, hingga jutaan tahun lalu. Ini kaya’ ngeliat kumpulan foto-foto jadul, dari film beberapa tahun lalu sampai beberapa juta tahun lalu. Bener kan ? soalnya, jarak bintang-bintang itu dari bumi kita tercinta bisa sampai jutaan tahun cahaya. Bintang yang paling deket dari kita aja (selain matahari) – Alfa centauri, jaraknya kurang lebih 4 tahun cahaya. Artinya, cahaya, dengan kecepatan 300.000 km/detik, berjalan dari bintang itu ke mata kita selama 4 tahun..artinya lagi, apa yg kita liat sekarang adalah Alfa centauri 4 tahun lalu…sekarang gimana dgn bintang-bintang berjarak jutaan tahun cahaya ?

Jadi, seandainya ada teleskop super-duper-kuat yg bisa ngeliat sangat detail kehidupan di angkasa sana, dan seandainya di galaksi lain yg berjarak jutaan tahun cahaya ada planet dengan umur dan kondisi serupa dgn planet bumi, dan seandainya ada bentuk kehidupan semaju manusia sekarang yg dengannya kita berharap bisa berkomunikasi, …kita mungkin hanya akan ngeliat sejumput makhluk-makhluk mikroskopis pertama yg lagi berenang-renang di pangkal jalan evolusi..ngga seperti yg kita harapkan !

tapi, tau ngga, berpikir sedalam itu saat mengamati tebaran bintang di langit membuat saya sadar bahwa manusia hanyalah bagian sangat kecil dari alam semesta ini, dan semua beban hidup terasa sangat ringan,…dan itu semua memberi energi baru dalam hidup ini untuk tetap terikat dalam jalinan halus kehidupan.(halah)

h1

silly idea (3)

Juni 10, 2008

Meskipun saya pribadi tidak mendukung dan tidak tertarik untuk berpoligami, perlu juga untuk bersimpati dengan orang-orang seperti Aa Gym dan Bpk Puspo Wardoyo (empunya Ayam Bakar Wong Solo) yg rela dicaci-maki oleh ibu-ibu sedunia (berlebihan) karena berpoligami.. Bukan,bukan, saya ngga akan ngasih Poligami Award.

Tapi, silly idea, kenapa sih para korban caci-maki ini ngga bersatu di bawah satu bendera, asosiasi/ikatan suami2 berpoligami (ISP) ! Selangkah lebih maju, saya udah membuatkan logo ISP buat mereka2 ini :

ISP

Keterangan : Lingkaran di tengah bisa diisi dengan nama asosiasi, contoh : ISP. Atau kalo ngga mau, bisa dikasih tanda senyuman [smiley 🙂 ], biar kesannya lebih ramah. Kalo tanda + nya kurang (misal, mau bikin 4), silahkan ditambahi. Tanda panah saya taruh di bawah untuk memberi kesan bahwa para suami bukannya ingin berada di ‘atas’ istri, tapi JUSTRU menjadi tumpuan para istri-nya.

Dengan bersatu, para ISP bisa punya kekuatan lebih utk melakukan pembelaan, dan sebaliknya ……caci maki dari para-istri-ga-mau-dimadu juga bisa lebih “tepat sasaran”. Bagus khan ?

h1

sok tahu

Juni 8, 2008

Anak (baca : Mahasiswa dan alumni) ITB tuh suka sok tahu. Itu inherit, unavoidable.. termasuk saya !

Tapi untungnya, anak ITB punya satu keunggulan lagi, mereka suka ngomong ngga penting..

Jadi, sok tahu itu — menurut saya — ngga apa2, asal untuk hal-hal yang ngga penting (kaya’ omongan ini…)

Asal jangan sok tahu untuk hal-hal penting aja, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak ! bisa bahaya !! kaya’ para ‘ITB-born’ politicians di Indonesia tercinta ini.. hehehe.

h1

miskinkah anda ?

Juni 7, 2008

Ini adalah 14 Kriteria kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik, yang dipakai sebagai acuan dalam survey penerima BLT :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : Petani dengan luas lahan 0, 5 ha — Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan (2005) — atau   pendapatan perkapita Rp.166.697 per kapita  per bulan (2007).

13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti:sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Kalau dari kriteria ini, saya memenuhi 7 kriteria, jadi skor saya 7/14-setengah miskin. hueee…berapakah skor Anda ?

PS : Mungkin bisa diajukan utk memperoleh BLT, dgn perhitungan :

Uang yang diperoleh           =      skor Anda x Besar dana BLT/bulan

=      7/14 x Rp.100.000/bulan

=       Rp.50.000/bulan

…………….  Lumayan, buat beli pulsa ! hehe, just kidding. 😀

h1

survival of the fittest

Juni 7, 2008

Ga tau kenapa, teori “seleksi alam” dari Darwin sering banget jadi pembenaran untuk menunjukkan betapa kerasnya hidup – saling sikut, saling menjatuhkan.. Pernyataan “survival of the fittest” selalu diartikan menjadi “yang kuat yang menang”. Padahal, arti harfiahnya kan : “kelulushidupan dari yang paling sesuai”, iya toh ?

Kata kuncinya di sini : “sesuai” bukan “kuat”, dan “lulushidup/survive” bukan “menang”. Kenapa hal ini jadi penting ?

Pertama, karena sesuai ngga berarti harus kuat. ‘Kuat’ demikian sering diasosiasikan dengan “sesuai”, karena di dunia manusia yang barbar ini, kesesuaian begitu erat berhubungan dengan kekuatan – dan kekuatan berhubungan dengan kompetisi, atau pertarungan !

Terus kamu bakal bilang,

“loh, dunia binatang kan emang isinya berkompetisi dan makan-dimakan, khan ?”

Saya bilang,

“kamu terlalu banyak nonton Animal Planet !”

Yah, ngga bisa dipungkiri, pertunjukan satwa liar yang paling menarik – dan paling sering ditampilkan di depan kita adalah Predasi– makan dan dimakan.. Karena ia menarik. Karena ia mudah ditangkap kamera. dan Karena itu bisa jadi pembenaran ketika manusia ingin melakukan hal serupa ke sesamanya.

Padahal, kompetisi dan predasi cuman sebagian dari banyak sekali interaksi di dalam komunitas. Bentuk interaksi lainnya, malah lebih ‘manusiawi’, lebih punya ‘pesan moral baik’…halah. Coba liat gimana beberapa jenis serangga membantu tumbuhan tertentu untuk bereproduksi dengan membantu proses penyerbukan..atau lihat gimana dalam koloni semut terdapat pembagian tugas yang sangat baik antar anggota koloninya..atau gimana lebah madu menunjukkan perilaku altruistik..atau gimana tentakel anemon laut melindungi ikan “Nemo” dari serangan predatornya..

Kekuatan hanyalah salah satu means untuk survive. Kondisi lingkungan seperti padang rumput Afrika  yang datar dan luas menjadikan kekuatan, kecepatan, dan kelincahan sebagai kunci kelulushidupan. Mereka yang kuat, cepat, lincah — mereka akan menjadi the fittest. Tapi di tempat lain, seperti  hutan tropis Kalimantan, kemampuan untuk bermimikri – tidak terlihat oleh predator dgn menyamar seperti lingkungan atau hewan lain, lebih sesuai ketimbang dapat berlari secepat kilat. Bersembunyi dan mengalah, kadang bagi manusia terkait erat dgn tindakan ke-pengecut-an, bisa jadi lebihbaik dari kuat dan melawan !

Kompetisi sangat wajar terjadi ketika di suatu wilayah terdapat kelangkaan sumberdaya..tetapi ‘saling sikut’ dan ‘saling menjatuhkan’ bukan satu2nya implikasi dari kompetisi. Dalam komunitas yang seimbang, setiap individu mengisi relung-relung (niche) yang sesuai baginya tanpa harus banyak bersaing dengan individu lain.

Dalam dunia usaha, ada 3 kelompok pengusaha berdasarkan penguasaan pasarnya, Leader..Follower..dan Nicher. Leader itu seperti singa, membunuh kerbau liar dan memakan bagian terbesar dari dagingnya. Follower itu seperti condor atau hyena, yg memakan sisa-sisa dari korban singa..Nicher itu seperti ardvark (hehe), yg mana daripada memakan makanan populer seperti daging kerbau, lebih memilih mencari semut untuk dimakan. Kita ngga harus jadi Leader — Follower atau Nicher juga ngga apa2 ko..

Kedua, karena lulushidup tidak sama dengan menang. Menang adalah implikasi dari persaingan, dan sekalipun hidup adalah perjuangan, tetapi kita harus ingat siapa sebenarnya ‘lawan’ kita. Semua makhluk hidup di dunia berjuang untuk dapat survive, melawan alam — melawan perubahan-perubahan lingkungan yang ‘menyeleksi’ siapa di antara mereka yg tidak dapat bertahan dan punah. Mereka tidak berusaha untuk menang, mereka berusaha untuk hidup dan mempertahankan keturunannya. Terlalu berlebihan jika kita berpikir bahwa singa ingin lebih hebat daripada macan tutul, atau menang dari cheetah.

“Loh, tapi kan pada akhirnya dia harus menang agar tetap bisa menguasai sumberdaya yg ada ?“, mungkin kata kamu.

Iya, tapi implikasi dari  usaha untuk ‘menang’ akan sangat berbeda dengan ‘lulushidup’. Di Serengeti, kompetisi mungkin jawaban untuk kelulushidupan. Tapi di Amazon, ‘kerjasama/simbiosis’ bisa jadi solusi yang lebih tepat. On top of all that, Ekosistem yang seimbang akan berusaha mencapai kondisi dimana semua anggota komunitas lulus-hidup..Semua anggota komunitas menang — meski statemen-nya jadi absurd, karena ketika tidak ada yg kalah, maka tidak ada pemenang !

Dunia manusia tidak jauh dari dunia satwa, Ya, tapi dalam arti yang luas. Tidak sesempit “yang kuat yang menang”, tetapi seluas “fit” untuk “survive”.  Manusia ngga melulu butuh Eksistensi, untuk berada di atas yang lain … tapi ia butuh Aktualisasi, untuk sesuai bagi peran dan posisinya. Ia tidak harus menang melawan sesama, tetapi survive melawan perubahan. Dan yang paling mendasar, di tengah upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak harus berkompetisi, tetapi manusia bisa mengisi relungnya masing-masing, dan bekerja sama. Toh, kita ini khan : Homo (yang) sapiens.

h1

Three Law of Robotics

Mei 6, 2008

dari novel Isaac Asimov yg terkenal, ‘I, Robot’. Dimainkan di layar lebar dgn baik – menurut saya – oleh Will Smith.

1. A robot may not injure a human being or, through inaction, allow a human being to come to harm.

(Robot tidak boleh melukai manusia atau, dengan tidak bertindak, membiarkan manusia utk terluka)

2. A robot must obey orders given to it by human beings, except where such orders would conflict with the First Law.

(Robot harus mematuhi perintah yg diberikan kepadanya oleh manusia, kecuali apabila perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama)

3. A robot must protect its own existence as long as such protection does not conflict with the First or Second Law.

(Robot harus melindungi keberadaannya selama perlindungan itu tidak bertentangan dengan Hukum Pertama dan Kedua)

Coba baca novelnya deh, atau kalo males nonton filmnya. Bukan Film Robot Biasa !!

h1

mimpi pengen gila

Mei 6, 2008

Tadi malem saya mimpi aneh banget.. Jadi, saya mimpi saya lagi mimpi. Di mimpi saya yang kedua (baca:mimpi yg ada di dalam mimpi), saya kaya’ yang punya dunia dan hidup yang berbeda. Ngga jelas sih mimpi kedua-nya apa, tapi begitu bangun dari mimpi yang kedua (baca:masih di mimpi pertama), saya bilang ke Anug (baca:cewe’ku), “kalau nanti setelah nikah, setelah cukup mapan, saya pengen gila. Boleh ngga’?” Trus kata Anug, “boleh.” Mimpi yang aneh kan ??

—-

Tapi di mimpi yang pertama saya sadar (baca:seperti sadar padahal mimpi), bahwa mengeksplor dunia di alam pikiran sepertinya menarik. Apalagi kalo kamu cukup introvert sampai orang-orang bilang kamu Autis*..label yg cukup tepat buat jadi justifikasi agar kamu bisa ngga peduli dgn lingkungan sekitar kamu dan tetep mementingkan diri sendiri. Sangat ‘menantang’ utk membuka pintu-pintu ide dan berpetualang di labirin pikiran, tanpa harus mempertanggungjawabkannya di dunia nyata (baca:implementasi). Toh, kebanyakan kita sekarang ini juga cukup autis utk ngga peduli dgn tanggungjawab sosialnya kan ?

—-

Sigmund Freud bilang, mimpi bisa diinterpretasi sebagai realita atau harapan yg ditekan ke dalam alam bawah sadar. Hmm, mungkin juga, soalnya kadang2 saya suka cape’ dengan hidup, terlalu ‘berat’, penuh intrik, penuh tuntutan. Dan kebetulan beberapa hari kemarin temen saya cerita ttg temennya yg gila (baca:temennya temen saya bukan berarti saya ya…huehehe). Tapi untungnya, semangat saya utk ‘hidup’ dan segala konsekuensinya, hingga saat ini, masih jauh lebih tinggi dari ke-pengen gila-an saya. Pengen gila, cukup di mimpi aja !

*) bukan autisme dlm definisi sebenarnya